Batik merupakan salah satu kerajinan yang mempunyai nilai seni tinggi dan menjadi budaya Indonesia yang terkenal sampai ke berbagai Negara dan diakui UNESCO. Diantara berbagai jenis batik, batik alam merupakan jenis batik yang berkualitas tinggi, dan banyak diminati wisatawan baik domestikmaupun wisatawan mancanegara. Hal itu dikarenakan batik alam diproduksi dengan pewarna alami dan memberikan kesan tersendiri sebab pewarna alami menyebabkan limbah yang dihasilkan ramah lingkungan dan aman untuk kesehatan karena zat-zat yang terkandung dalam pewarna alami dapat mudah teruraisehingga tidak menimbulkan polusi, bahkan warna batik yang dihasilkan pewarna alam dapat bertahan sampai puluhan tahun.
Namun, keunggulan batik alam tersebut tidak didukung kondisi saat ini. Kendala yang dialami oleh pengrajin batik alam adalah mereka sulit bisa memenuhi permintaan secara cepat karena batik alam memerlukan waktu yang lama dalam proses pembuatannya dan ketersediaan bahan baku pewarna alam masih sangat minim. Bahan pewarnanya didapat dengan cara mengekstrak bagian-bagian dari tumbuhan penghasil celup, seperti batang, kulit kayu, daun, akar-akaran, bunga, biji-bijian, buah-buahan dan getah pohon. Melihat fakta tersebut, sekelompok mahasiswa UNY yaitu Anisa Saraswati jurusan kimia dan Devy Indah Lestari jurusan pendidikan IPA FMIPA UNY serta Bexzy Kurnilasari jurusan pendidikan teknik busana FT UNY mengeksploitasi kulit manggis sebagai pewarna alam untuk kain batik.
Menurut Annissa Saraswati, mereka tertarik melakukan penelitian ini karena mengetahui bahwa kulit manggis mempunyai kandungan kimia yang banyak dan sangat menguntungkan. Kulit manggis mempunyai pigmen warna yang cocok dijadikan sebagai pewarna serta mengandung sejumlah pigmen yang berasal dari dua metabolit, yaitu mangosti dan β-mangostin. Jika semua kandungan yang terdapat pada buah manggis tersebut diekstraksi, maka akan didapati bahan pewarna alami berupa antosiasin yang menghasilkan warna merah, ungu, dan biru.
Kulit buah manggis juga mengandung flavan-3,4-diols, yang tergolong senyawa tannin dan dapat digunakan sebagai pewarna alami pada kain. Tannin adalah salah satu zat warna yang terdapat dalam berbagai tumbuhan dan yang paling baik adalah dalam manggis. Devy Indah Lestari menambahkan bahwa selama ini bahan pewarna alami yang digunakan antara lain daun pohon nila (Indofera), kulit pohon soga tingi (Ceriops candolleans arn), kayu tegeran (Cudraina javanensis), kunyit (curcuma), akar mengkudu (Morinda citrifelia), kulit soga jambal (Pelthophorum ferruginum), kesumba (Bixa orelana), dan daun jambu biji (Psidium guajava).
Melalui pemanfaatan kulit manggis sebgai pewarna alami kain batik, diharapkan meningkatkan hasil produksi kain batik karena dapat membantu para pengrajin batik untuk memperoleh bahan baku pewarna alam selain menjadi sarana pengolah limbah sehingga meningkatkan nilai guna buah manggis.
Bexzy Kurnilasari menerangkan pembuatan pewarna alami kain batik meliputi 2 tahap, membutuhkan sebanyak 2 kg kulit manggis kering. Dua kg kulit manggis kering dapat menghasilkan 80 liter pewarna kulit manggis. Tahap pertama pembuatan kulit manggis menjadi pewarna alam, dan tahap kedua pembuatan kain batik dari pewarna kulit manggis tersebut. Adapun tahapan proses pembuatan pewarna alam adalah kulit manggis dicuci, dikeringkan dan dihaluskan agar dalam ekstraksi mendapatkan hasil sempurna lalu diblender. Kemudian dimasukkan kedalam petroleum eter.
Setelah lemak dipisahkan kulit manggis diekstrak menggunakan etanol 95 % sedangkan larutan basa berair diekstrak dengan klorofom agar tannin terpisah dengan senyawa lainnya, lalu diuapkan untuk mendapatkan Kristal warna coklat yang digunakan untuk mewarnai batik. Sedangkan pembuatan kain batik dari pewarna kulit manggis adalah kain dibuat motifnya lebih dahulu setelah itu dilakukan perekatan dengan malam untuk menahan warna. Proses berikutnya disebut medel yaitu pencelupan warna dasar kain pada zat warna yang berasal dari pengenceran kristal kulit manggis.
Dilanjutkan dengan ngerok atau menghilangkan malam klowongan dan penggunaan malam ketiga (mbironi) disambung dengan menyoga / pencelupan zat warna yang kedua, ditambah memfiksasi kain dengan fiksator. Proses tersebut dilakukan berkali-kali sampai mendapatkan warna yang diinginkan. Selanjutnya mbabar/nglorod yaitu pembersihan seluruh malam yang menempel di kain dengan cara dimasak didalam air mendidih dengan ditambah air tapioka lalu dicuci dan dikeringkan dengan tidak terkena sinar matahari secara langsung.